Ketika mendirikan usaha, terutama dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) atau CV, banyak pelaku bisnis yang sering mendengar istilah PKP dan non PKP. Namun, tidak semua benar-benar memahami apa perbedaan keduanya, apa dampaknya terhadap kewajiban pajak, dan apakah setiap perusahaan wajib menjadi PKP.
Artikel ini akan membahas secara lengkap dan mudah dipahami mengenai perbedaan PKP dan non PKP — mulai dari pengertian dasar, peraturan perpajakan yang berlaku, hingga konsekuensi hukum jika perusahaan tidak memenuhi ketentuan PKP meski omzetnya sudah melampaui batas yang ditetapkan.
Table of Contents
ToggleApa Itu PKP (Pengusaha Kena Pajak)?
PKP (Pengusaha Kena Pajak) adalah status yang diberikan kepada pengusaha yang telah dikukuhkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) karena telah memenuhi syarat tertentu, terutama dari sisi omzet tahunan.
Secara sederhana, perusahaan PKP adalah badan usaha yang sudah diwajibkan memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang dan jasa yang dijualnya.
Dengan menjadi PKP, perusahaan juga akan diberikan Nomor PKP (No. PKP), yang menjadi identitas resmi dalam sistem perpajakan untuk membedakan perusahaan tersebut dari pelaku usaha non PKP.
Apa Itu Non PKP?
Sementara itu, non PKP adalah pengusaha atau perusahaan yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena omzetnya masih di bawah batas tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 197/PMK.03/2013, batasan omzet untuk wajib dikukuhkan sebagai PKP adalah Rp 4,8 miliar per tahun.
Artinya, jika omzet bisnis Anda belum mencapai Rp 4,8 miliar setahun, maka status Anda masih non PKP, dan tidak memiliki kewajiban untuk memungut atau menyetor PPN.
Perbedaan Utama antara PKP dan Non PKP
Untuk memahami perbedaannya secara lebih konkret, berikut penjelasan poin-poin penting yang membedakan keduanya:
| Aspek | PKP | Non PKP |
| Status Pajak | Wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN | Tidak wajib memungut PPN |
| Nomor PKP | Memiliki Nomor PKP resmi dari DJP | Tidak memiliki Nomor PKP |
| Batas Omzet Tahunan | Di atas Rp 4,8 miliar | Di bawah Rp 4,8 miliar |
| Faktur Pajak | Wajib menerbitkan Faktur Pajak untuk setiap transaksi | Tidak dapat menerbitkan Faktur Pajak |
| Keuntungan Administratif | Lebih dipercaya oleh klien korporasi dan pemerintah | Biasanya cocok untuk UMKM atau usaha kecil |
| Pelaporan Pajak | Harus melaporkan SPT Masa PPN setiap bulan | Tidak perlu lapor PPN, cukup PPh sesuai jenis usahanya |
Nomor PKP Itu Apa Sebenarnya?
Nomor PKP (atau kadang disebut juga Nomor Pengukuhan PKP) adalah nomor identitas resmi yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada pengusaha setelah proses pengukuhan PKP selesai.
Nomor ini berfungsi untuk menunjukkan bahwa suatu badan usaha resmi diakui sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan telah memenuhi persyaratan administratif serta omzet minimum.
Nomor PKP akan tercantum dalam Surat Pengukuhan PKP yang diterbitkan oleh DJP, dan biasanya juga digunakan dalam setiap dokumen perpajakan seperti Faktur Pajak, e-Faktur, dan SPT Masa PPN.
Apakah PT Wajib Menjadi PKP?
Tidak semua Perseroan Terbatas (PT) otomatis menjadi PKP.
Status PKP hanya diperlukan jika omzet tahunan PT tersebut sudah melampaui Rp 4,8 miliar, atau jika PT secara sukarela ingin dikukuhkan sebagai PKP meskipun omzetnya masih di bawah batas tersebut.
Banyak perusahaan yang memilih menjadi PKP sejak awal berdiri agar terlihat lebih profesional dan dapat bekerja sama dengan perusahaan besar yang mensyaratkan mitra bisnisnya berstatus PKP.
Namun, jika omzet masih kecil dan transaksi belum memerlukan faktur pajak, PT boleh tetap berstatus non PKP sampai omzetnya memenuhi kriteria wajib PKP.
PKP Minimal Penghasilan Berapa?
Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 197/PMK.03/2013, pemerintah menetapkan bahwa pengusaha dengan omzet tahunan di atas Rp 4,8 miliar wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Aturan ini menjadi acuan utama dalam menentukan apakah suatu badan usaha perlu memungut dan melaporkan PPN.
Jika omzet Anda:
- ≤ Rp 4,8 miliar/tahun → Tidak wajib PKP (non PKP).
- > Rp 4,8 miliar/tahun → Wajib PKP.
Angka ini tidak dihitung per bulan, tetapi total omzet kotor tahunan dari seluruh kegiatan usaha.
Jadi, jika sebuah perusahaan mulai melampaui batas ini dalam tahun berjalan, maka wajib segera mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP di Kantor Pajak terdekat.
Konsekuensi Jika Omzet di Atas Rp 4,8 Miliar Tapi Belum PKP
Inilah salah satu kesalahan umum yang sering terjadi di dunia usaha; omzet sudah tinggi, tapi perusahaan belum mendaftarkan diri sebagai PKP.
Jika hal ini terjadi, ada beberapa konsekuensi hukum dan finansial yang harus diperhatikan:
- Sanksi Administratif dari DJP
DJP dapat mengenakan denda dan bunga atas keterlambatan pendaftaran PKP. - Keterbatasan dalam Transaksi Bisnis
Banyak perusahaan besar dan instansi pemerintah hanya mau bekerja sama dengan rekanan yang berstatus PKP, sehingga Anda bisa kehilangan peluang kerja sama. - Kewajiban Membayar PPN yang Terutang
Jika terbukti omzet sudah melebihi Rp 4,8 miliar, perusahaan tetap wajib membayar PPN yang belum dipungut, meskipun belum resmi dikukuhkan sebagai PKP.
Dengan kata lain, menunda pengukuhan PKP bisa menyebabkan kerugian ganda, yaitu kehilangan kepercayaan bisnis sekaligus terkena sanksi pajak.
Konsekuensi Pajak dan Manfaat Menjadi PKP
Meskipun menjadi PKP menambah kewajiban administratif (misalnya membuat faktur pajak dan melapor SPT PPN setiap bulan), status ini juga memberikan sejumlah manfaat strategis, antara lain:
- Meningkatkan kredibilitas bisnis, terutama di mata mitra perusahaan besar atau instansi pemerintah.
- Dapat melakukan kredit pajak masukan, yaitu memotong pajak yang sudah dibayarkan atas pembelian barang/jasa.
- Mempermudah akses tender dan proyek besar yang sering mensyaratkan status PKP.
- Transparansi keuangan lebih baik, karena setiap transaksi terekam secara resmi dalam sistem pajak.
Dengan kata lain, menjadi PKP bukan hanya kewajiban, tetapi juga strategi bisnis jangka panjang untuk pertumbuhan perusahaan.
Non PKP Kena Pajak Apa Saja?
Meskipun tidak wajib memungut PPN, perusahaan non PKP tetap memiliki kewajiban pajak lain, di antaranya:
- Pajak Penghasilan (PPh), baik PPh Pasal 21 (karyawan), PPh Pasal 23 (jasa), maupun PPh Final UMKM (0,5% dari omzet).
- Pajak Daerah, seperti pajak reklame, pajak air tanah, dan lainnya tergantung jenis usaha dan lokasi.
- Pajak Impor/Ekspor (jika ada kegiatan perdagangan internasional).
Jadi, non PKP bukan berarti bebas pajak, hanya saja tidak wajib PPN.
Langkah-langkah Menjadi PKP
Bagi Anda yang sudah memenuhi kriteria omzet atau ingin secara sukarela menjadi PKP, berikut langkah-langkah pengukuhannya:
- Ajukan permohonan ke KPP tempat perusahaan terdaftar.
- Lengkapi dokumen:
- Akta pendirian dan NPWP badan usaha,
- Surat domisili usaha,
- KTP pemilik/direktur,
- Surat pernyataan kegiatan usaha aktif.
- Petugas pajak akan melakukan survei lapangan untuk memverifikasi keberadaan dan aktivitas usaha.
- Setelah disetujui, Anda akan menerima Surat Pengukuhan PKP dan nomor resmi PKP.
Setelah dikukuhkan, perusahaan wajib melaksanakan kewajiban PPN sesuai ketentuan DJP.
Kesimpulan
Menentukan apakah perusahaan Anda harus menjadi PKP atau tetap non PKP bukan sekadar soal pajak, tapi juga soal kredibilitas bisnis dan kepatuhan hukum.
Jika omzet Anda masih di bawah Rp 4,8 miliar, non PKP masih bisa menjadi pilihan aman. Tapi begitu omzet melebihi batas tersebut, segeralah ajukan pengukuhan PKP agar terhindar dari sanksi dan dapat mengembangkan bisnis dengan lebih luas.
Ingat, menjadi PKP bukan sekadar kewajiban, tapi juga langkah strategis untuk menunjukkan bahwa perusahaan Anda profesional dan patuh terhadap aturan perpajakan di Indonesia.
Konsultasikan mengenai pajak perusahaan anda dengan kami, Master Legal Solution, Click Disini
